Sudah 12 hari ini, saya dan suami
‘berpisah’ sementara. Sejak tanggal 28 April lalu suami saya berada di Jakarta.
Ia sedang mengikuti karantina untuk kompetisi memasak yang diadakan sebuah
stasiun TV nasional. Kalau dia melaju hingga ke final, maka ia akan berada di
Jakarta selama 3 bulan, hingga akhir bulan Juli nanti. Lamaaaa…hiks.
My darling & Me |
Bukan kali pertama sebenarnya
kami ‘berpisah’ sementara seperti ini. ‘Berpisah’ selalu menjadi hal yang
membuat hati saya mellow, walau saya tahu hanya sementara saja. Kemarin saja
waktu mengantarnya sampai pagar rumah dan melihat taksi yang membawanya ke
bandara semakin menjauh, membuat saya sedih dan ingin menangis. Baru beberapa
menit ia pergi, saya sudah sangat merindukannya.
Maklumlah, kami kan masih berdua
saja. Tanpanya, rumah sangat sepi. Saya jadi kehilangan momen-momen kecil
seperti mengobrol saat makan malam, mengobrol di tempat tidur sambil nonton TV
atau makan kuaci biji matahari favorit kami, bercanda-canda sampai dada saya
sesak karena tertawa berlebihan. Saya juga rindu memeluknya serta mencium aroma
tubuhnya yang khas. Hiks…
Namun ‘perpisahan’ kali ini agak
berbeda. Perasaan saya sebagai orang yang ‘ditinggalkan’ tak semellow biasanya.
Satu hal karena, adik bungsu saya beserta suami dan dua anak lelaki mereka yang
lucu dan bandel, berlibur ke sini dan menginap di rumah saya selama 7 malam.
Mereka datang 3 hari setelah suami saya berangkat. Alhamdulillah, kedatangan
mereka membuat saya tak kesepian. Apalagi karena ada 2 keponakan saya yang
super aktif, membuat saya sibuk dan terhibur.
My darling nephews, Attar & Raffa.. |
Yang sebenarnya membuat saya
tersadar adalah kejadian 2 hari sebelum suami saya berangkat. Di Jumat pagi
sehabis shubuh, saat saya bersiap mengaji, suami yang sedang mengecek twitter
miliknya tiba-tiba berkata , “Inna lillahi wa ina illaihi rojiun. Uje
meninggal, darl..”
“inna lillahi wa ina illaihi
rojiun” ucap saya spontan…Kaget, sungguh takdir yang tak bisa ditolak meski
umur beliau masih terbilang muda, 40 tahun, begitu pikiran saya sebagai manusia
biasa. Terbayang istri dan anak-anaknya yang masih kecil-kecil, sedih sekali.
Kenyataan itu membuat saya
seperti tersadar. Tersadar bahwa apa yang saya kira selama ini milik saya,
bukanlah milik saya. Hidup saya, suami saya, keluarga saya, harta saya..semua
itu bukan milik saya. Semua itu hanya ‘milik saya’ sementara, hanya sebagai
alat supaya saya mengenal Pencipta saya. Semua itu adalah milik Pencipta saya.
Selama ini saya sudah tahu itu,
tapi tak mau mengakuinya, sebab saya sungguh takut kehilangan itu semua. Seperti
kematian, saya tahu itu pasti terjadi tetapi memikirkannya saja sudah membuat
saya ketakutan dan sedih.
Sama seperti setiap kali kami ‘berpisah’.
Ada rasa ketakutan dalam hati saya. Takut saya tak bisa bertemu lagi dengan
suami, takut tak dapat melihatnya lagi. Sungguh lebay saya ini. Tapi itulah
perasaan saya yang sejujurnya. Saya sangat takut kehilangan suami saya. Apa
yang akan saya lakukan apabila saya kehilangannya, seperti kehilangan tujuan
hidup saja rasanya.
Sehari setelah wafatnya Uje,
istrinya yang tadinya tak bisa berhenti menangis sampai terkadang pingsan dan
belum bisa menerima takdir ini, muncul di TV dengan wajah yang tabah, sudah
mampu sedikit tersenyum dan sudah bisa menerima kenyataan bahwa suaminya tak
akan kembali dan bersabar karenanya. Subhanallah…saya terharu sekaligus malu.
Betapa kecilnya hati saya. Saya
hanya tak bertemu suami saya sementara, bukan kehilangan selamanya, tapi saya
bersikap seperti saya kehilangan selamanya.
Saya harus segera sadar bahwa
saya harus mencintai Tuhan saya lebih besar dari mencintai apa yang saya kira
milik saya itu. Tak bersabar dan tak menerima takdir berarti saya tak percaya
padaNya, tak percaya pada janjiNya. Bahwa di dunia ini hidup hanya sementara,
sebentar saja, sedang kehidupan yang abadi adalah di surgaNya.
Saya tak boleh lagi terlalu
kawatir kehilangan orang-orang yang saya cintai saat mereka tak berada di dekat
saya. Sebab itu berarti saya tak percaya bahwa Allah menjaga mereka seperti
Ia menjaga saya. Saya harus sadar bahwa Ia adalah sebaik-baik Penjaga.
Dengan belajar menyadari itu,
saya mulai merasa tak terlalu parno lagi, tak terlalu sedih lagi, tak terlalu
khawatir lagi. Surprisingly, saya jadi
merasa lebih ringan. Bukan berarti rasa sayang saya berkurang pada suami
sebab saya menjadi seperti tak terlalu terpengaruh dengan ketidakberadaannya di
sisi saya. Saya masih sangat merindukannya. Setiap hari sejak membuka mata
hingga saat berangkat tidur lagi, kami terus berkomunikasi. Hampir tiap pagi
saya membangunkannya untuk sholat shubuh sebab ia sering kali pulang dini hari,
takut ia melewatkannya. Sehari-harinya minimal kami saling menelpon sebanyak
dua kali, tergantung jadwalnya saja. Bila tak terlalu padat, bisa lebih dari itu.
Kami juga berhubungan melalui whatsapp. Jadi, walau berjauhan, komunikasi kami
sangat intens. Sebab bagaimanapun, suami adalah teman terbaik saya. Dan kami terbiasa saling bercerita tentang apa
saja kegiatan kami hari ini, tentang perasaan kami dan banyak hal lagi.
Bersyukur dengan adanya alat komunikasi yang membuat jarak antara kami tak
terlalu jauh terasa.
Saya tak tahu seberapa cepat bisa
bertemu suami lagi, tergantung keberhasilannya di kompetisi itu. Namun
kapanpun, saya selalu berharap yang terbaik baginya. Saya percaya, Allah sudah
mengatur semuanya, yang terbaik bagi kami. Saya tahu ada hikmah di balik semua
kejadian. Perpisahan sementara ini membuat saya belajar hal yang berharga. Saya
berharap bisa terus memiliki hati yang terbuka untuk bisa menerima ilmu yang
bermanfaat tidak saja bagi kehidupan saya di dunia tapi terlebih di akhirat
nanti. Aamiin.
Siang tadi, saya sangat
merindukan suami. Lalu kami saling berbicara melalui video call Skype. Di
layar laptop saat sedang mengobrol, saya melihat suami saya tiba-tiba menunduk.
Saya bertanya apa yang sedang ia lakukan. Menggambar, katanya. Lalu ia
menunjukkan sebuah gambar pada saya, sebuah gambar mata. Ia menunduk lagi,
menggambar lagi. Menunjukkan ke saya lagi di layar. Rupanya ia menambahkan
gambar hati dibawah gambar mata, dan huruf U di bawahnya.
Saya tersenyum, lalu membalasnya,
‘I Love You, too…’
Aah darling, you really make my
day…
Beautiful sunset |
~Alhamdulillah~