Tuesday, February 26, 2013

S.e.l.i.n.g.k.u.h



Love,
It doesn't need to be perfect,
It just needs to be true.

~ Unknown ~
Apapun alasannya, saya  sangat membenci tindakan orang yang berselingkuh dari pasangan(sah)nya. Apapun masalah yang sedang dihadapi, pasti ada jalan keluarnya. Entah itu merekatkan kembali atau malah bercerai. Kalau yang terjadi yang pertama, Alhamdulillah. Tapi kalau harus bercerai, meski tindakan itu dibenci Allah, tapi itu lebih baik daripada berselingkuh. Berselingkuh itu bukan hanya mengkhianati janji terhadap pasangan hidup, tapi juga mengkhianati janji yang kita buat dengan nama Allah. Hanya orang yang tak kuat iman saja yang berkhianat. Apalagi berkhianat terhadap Tuhannya.

***


Saya mengenal seorang perempuan, yang juga seorang istri dan seorang ibu yang berkhianat terhadap suaminya, anak-anaknya, keluarganya. Di saat sang suami sedang berada di level terendah dalam hidupnya, bukannya menjadi penyemangat hidupnya, malah menjadi masalah baru yang membuat suaminya jatuh makin dalam. Seorang istri yang mestinya jadi penyejuk hati suami, teladan bagi anak-anaknya, memilih untuk mengkhianati mereka.

Saya kesal, marah dan terluka. Kenapa begitu mudah merendahkan diri sendiri? Menyerahkan kehormatan dan harta bukan kepada yang berhak. Aarrrgh….saya benci!!
Lalu saat ketahuan, menangis menyembah-nyembah untuk dimaafkan. Merasa pantas ya untuk dimaafkan? Merasa pantas ya mendapatkan kepercayaan setelah membuangnya tanpa berpikir panjang?
Saya marah sampai tak sudi melihat mukanya, tak sudi bermuka manis terhadapnya, tak sudi sekedar berbagi ruangan dengannya. Saya marah mengetahui ada seorang perempuan yang saya kenal mampu berbuat sekeji itu, serendah itu. Astaghfirullah.
Lalu untuk menutupi kesalahan, berusaha menjadi orang lain yang bukan dirinya. Bermanis manja di depan suami yang dikhianatinya demi mengalihkan permasalahan. Memuakkan!
Itu bukan penyesalan, itu kedok!

(Saya bukan makhluk suci, saya benci manusia hipokrit!)

Namun dunia ini memang benar berputar, tak disangka suatu waktu saat berada di puncak karirnya, gantian sang suami yang berbuat sama terhadap sang istri. Aaargh…sama saja!

A cheater belongs to a cheater!

Lalu sama-sama bereaksi berlebihan. Bukannya sama-sama pernah menjadi pelaku dan korban selingkuh? Jadi stop being so lebay about it.
Sang perempuan berlagak seperti korban. Nggak ingat ya dulu pernah berbuat hal hina yang sama? Sang lelaki merasa terintimidasi karena dipojokkan terus menerus. Siapa suruh membuat kesalahan yang sama? Kalian pikir saling membalas membuat kalian puas? Merasa menang?
Tambah muak, tambah marah, tambah kesal plus sebal.
Cukuplah…cukup sudah!

Muak! Muak! Muak!

Sungguh benar orang bilang : “Kesetiaan seorang istri diuji saat sang suami berada di titik terendah hidupnya. Sedangkan kesetiaan seorang suami diuji saat ia sedang berada di titik teratas hidupnya”

Dan yaa…kalian berdua G.A.G.A.L!!

“Berfikir sebelum berbuat adalah satu kebijaksanaan, berfikir setelah berbuat adalah satu kebodohan, sementara berbuat tanpa berfikir adalah seribu kebodohan”

Nikmati saja akibatnya!

~Naudzubillahi min dzalik~

(CatatanEmosiJiwa)

Monday, February 25, 2013

I Quit


Minggu lalu saat sedang mencuci piring di dapur, sayup-sayup terdengar suara seorang pembaca berita siang di TV dari dalam kamar. Sambil terus mencuci piring, saya memasang telinga sebab beritanya menarik perhatian saya, “Indonesia, a Baby Smoker Country”. Miris mendengarnya. Ingat kan pernah beredar tayangan video tentang seorang anak berumur sekitar 3-4 tahun dari Jawa Timur yang sedang merokok dengan gaya canggih dan fasih? Video itu banyak diposting di media sosial kala itu. Nah beredarnya video itulah awal mula yang membuat negara kita terkenal dengan sebutan “ Baby Smoker Country”, satu-satunya di dunia! Yang membuat saya kaget, menurut nara sumber berita siang itu, jumlah perokok berusia balita cukup banyak, dengan usia perokok paling muda sekitar umur 2 tahun, OMG! Jumlah perokok di bawah umur 14 tahun juga cukup memprihatinkan. Tapi yang semakin meningkat jumlahnya adalah perokok berusia antara 15 sampai 18 tahun.
Lalu bagaimana bisa anak-anak yang berusia sangat kecil itu bisa jadi kecanduan merokok? Rupanya pengaruh lingkungan keluarga sangatlah berperan. Rata-rata orang tua mereka, baik ayah atau ibunya atau keduanya adalah perokok. Atau keluarga dekat lainnya. L

                                                               
Saya melihat ayah saya merokok sejak kecil, sejak usia SD. Di usia 10 tahunan, saya  dan abang saya yang usianya 3 tahun di atas saya pernah coba-coba merokok dari sisa rokok ayah, secara sembunyi-sembunyi tentunya. Walaupun saat itu tak bisa merasakan nikmatnya merokok, tapi memang benar kami tertarik mencoba karena sering melihat ayah kami merokok.

Saat saya beranjak remaja, saya menemukan lebih banyak lagi anggota keluarga yang perokok diantaranya adalah om dan tante saya. Belum lagi teman-teman abang saya. Mungkin gara-gara itu pula saya merasa ingin mencobanya. Tapi saya baru benar-benar jadi perokok sejak tahun pertama kuliah, tahun 92. Dari sekedar iseng-iseng sampai akhirnya menjadi perokok ‘serius’.
Di lingkungan kampus saya, merokok bukan hal yang aneh atau tabu, bahkan untuk perempuan sekalipun. Jadi tindakan iseng-iseng saya perlahan menjadi kebiasaan yang susah dihilangkan setelahnya. Walau namanya kebiasaan buruk tapi kalau lingkungan kita permisif jadinya tak seperti melakukan sebuah kebiasaan buruk.

Dalam lingkunga keluarga selain ayah, abang saya pun sudah menjadi perokok pada saat itu. Tentunya saya tak berani merokok terang-terangan di depan kedua orang tua saya, walau saya yakin 200% bahwa mereka mengetahui kalau saya ini seorang perokok. Dan walau mereka tahu saya perokok, ayah dan ibu tak pernah menegur saya. Mungkin serba salah juga mau menasehati saya sedangkan ayah saya sendiri perokok berat. Sampai menikahpun, suami saya tampaknya tak keberatan saya tetap merokok, sebab ia juga seorang perokok seperti saya.

Berada di lingkungan perokok membuat keinginan untuk berhenti merokok cepat menguap. Saya ingat pernah 2 kali mencoba berhenti merokok dan gagal. Yang pertama hanya bertahan 2 minggu saja. Saat berkumpul bersama teman-teman yang perokok tak tahan melihat mereka merokok dengan asyik dan akhirnya saya kembali merokok. Yang kedua, kira-kira sepuluh tahun setelah itu. Saat itu saya ikut suami yang bekerja di Singapura. Kali ini bukan karena saya ingin berhenti merokok, tapi karena harga sebungkus rokok di sana sangat mahal hehehe… Bayangkan, waktu itu harga sebungkus rokok di Indonesia sekitar 10 ribu rupiah, sedang di sana harganya SGD 11. Kurs waktu itu 1 SGD = Rp. 5,500. Jadi harganya 5 kali lipat lebih mahal! Tapi, saat balik ke Indonesia lagi, kami berdua kembali menjadi perokok, sebab harga rokok murah hehehe…dasar memang nggak niat berhenti merokok.

Bagi saya, merokok sudah seperti makan saja. Sebuah keharusan, sebab kalau tak makan tubuh akan memberontak, menagih. Bahkan terkadang merokok lebih penting daripada makan. Saya rela menahan lapar asal ada rokok yang terselip di bibir. Kalau hanya punya uang untuk beli makan saja atau beli rokok saja, tentunya saya lebih memilih untuk membeli rokok saja ketimbang beli makanan.

Merokok seperti sebuah ritual yang wajib dilakukan setiap harinya. Bangun tidur di pagi hari yang pertama kali saya lakukan setelah minum air putih adalah merokok. Karena merokok saya sering kali skip sarapan. Browsing dan mengerjakan sesuatu di depan komputer paling enak sambil merokok. Habis makan siang kalau tak merokok rasanya tak lengkap. Sambil nonton TV paling enak sambil merokok. Ketemu teman paling enak ngobrol sambil merokok. Ngobrol santai dengan suami di teras samping paling seru kalau sambil merokok berdua. Pokoknya sehari-hari, di setiap rutinitas, rokok tak lepas dari bibir saya. Saya ini benar-benar kecanduan rokok. Sampai-sampai, emosi saya kadang suka tak terkontrol apabila dalam kondisi tertekan atau banyak pikiran apabila tak ada rokok terselip di bibir. Rokok membuat saya kalem, tenang. Gila! Segila itu tapi saya tak berniat sedikitpun berhenti, padahal saya tahu rokok terkadang mengontrol mood saya. Saya benar-benar addicted to ciggy.

Februari dua tahun lalu suami saya terkena flu berat. Saya hanya berfikir bahwa ia kurang istirahat dan cuaca yang tak bersahabat karena sedang musim hujan. Flunya mereda setelah semingguan dan menyisakan batuk yang tak kunjung sembuh walaupun sudah ke dokter. Karena batuk itulah ia memutuskan untuk berhenti merokok. Saya yang waktu itu sehat-sehat saja tetap merokok. Walau tak di depan suami, sebab asap rokok bisa memicu batuknya. Setiap habis ngedrop suami ke tempat kerjanya dia berpesan supaya saya berhenti merokok. Tapi saya tetap bandel dan tetap membeli sebungkus rokok sebelum pulang ke rumah. Tapi lama-lama suami rupanya marah juga melihat saya tetap bandel merokok padahal sudah dilarangnya. Dia bilang, ini saatnya bagi kami untuk berhenti merokok dan hidup lebih sehat. Saya akhirnya menurut walau dengan setengah hati.

Hari-hari pertama berhenti merokok merupakan siksaan luar biasa bagi tubuh saya. Tubuh menagih nikotin tapi tak terpuaskan. Saya jadi mudah gelisah. Emosi cepat naik. Tidur malampun tak nyenyak. Saya bermimpi merokok sampai 3 bulan pertama sejak berhenti. Saya jadi banyak makan dan tubuh jadi melar. Tapi sudahlah, kali ini setelah lewat bulan ke 3 tubuh saya mulai tak terlalu menagih nikotin, tapi bukan berarti tak ngiler melihat teman-teman kami merokok di depan kami. Berat!

Suami saya sungguh pintar mengimi-imingi reward apabila kami berdua berhenti merokok. Dia bilang uang yang biasanya kami habiskan untuk membeli rokok tiap bulannya lebih baik kami tabung untuk liburan. Otak saya langsung menghitung cepat. Sebulan kami mengabiskan tak kurang dari 600rb rupiah untuk membeli rokok. Berarti setahun ke depan kami bisa menabung 7 juta lebih untuk berlibur. Wah seru nih. Bisa untuk liburan seminggu ke Lombok atau 3-4 hari ke Thailand. Jadi, saya mulai memfokuskan diri untuk menabung uang rokok kami itu daripada memikirkan tubuh saya yang haus nikotin. Dengan begitu saya lebih mudah melewati hari demi hari tanpa rokok lagi.

Tahun ini tak terasa sudah 2 tahun kami berdua berhenti merokok. Sudah tak tersisa lagi keinginan untuk merokok. Bahkan kalau ada yang merokok di sebelah, kami memilih untuk menutup hidung dan menyingkir. Kami mulai memahami kenapa dulu para non-smoker sebal melihat kami menghembuskan asap racun itu. Sekarang kami juga merasakannya!

Saya masih berharap ayah saya, abang saya, ipar-ipar saya, teman-teman saya ataupun kerabat saya lainnya untuk berhenti merokok seperti kami. Semoga! Selain demi kesehatan mereka juga demi anak-anak dan orang-orang di sekitar mereka. Terlebih anak-anak mereka, sebab anak lebih melihat perbuatan daripada sekedar perkataan. Saya tak ingin keponakan kami nantinya setelah beranjak remaja ikut-ikutan merokok seperti kami dulu. Dan baru sekarang saya merasa menyesal pernah menjadi contoh yang buruk bagi mereka.

What happen after quiting..

Please make sure, once you quit smoking, you quit for good.