Minggu lalu saat sedang mencuci
piring di dapur, sayup-sayup terdengar suara seorang pembaca berita siang di TV
dari dalam kamar. Sambil terus mencuci piring, saya memasang telinga sebab
beritanya menarik perhatian saya, “Indonesia, a Baby Smoker Country”. Miris
mendengarnya. Ingat kan pernah beredar tayangan video tentang seorang anak
berumur sekitar 3-4 tahun dari Jawa Timur yang sedang merokok dengan gaya
canggih dan fasih? Video itu banyak diposting di media sosial kala itu. Nah
beredarnya video itulah awal mula yang membuat negara kita terkenal dengan
sebutan “ Baby Smoker Country”, satu-satunya di dunia! Yang membuat saya kaget,
menurut nara sumber berita siang itu, jumlah perokok berusia balita cukup
banyak, dengan usia perokok paling muda sekitar umur 2 tahun, OMG! Jumlah
perokok di bawah umur 14 tahun juga cukup memprihatinkan. Tapi yang semakin
meningkat jumlahnya adalah perokok berusia antara 15 sampai 18 tahun.
Lalu bagaimana bisa anak-anak
yang berusia sangat kecil itu bisa jadi kecanduan merokok? Rupanya pengaruh
lingkungan keluarga sangatlah berperan. Rata-rata orang tua mereka, baik ayah
atau ibunya atau keduanya adalah perokok. Atau keluarga dekat lainnya. L
Saya melihat ayah saya merokok
sejak kecil, sejak usia SD. Di usia 10 tahunan, saya dan abang saya yang usianya 3 tahun di atas
saya pernah coba-coba merokok dari sisa rokok ayah, secara sembunyi-sembunyi
tentunya. Walaupun saat itu tak bisa merasakan nikmatnya merokok, tapi memang
benar kami tertarik mencoba karena sering melihat ayah kami merokok.
Saat saya beranjak remaja, saya
menemukan lebih banyak lagi anggota keluarga yang perokok diantaranya adalah om dan tante saya. Belum lagi teman-teman abang saya. Mungkin gara-gara itu
pula saya merasa ingin mencobanya. Tapi saya baru benar-benar jadi perokok
sejak tahun pertama kuliah, tahun 92. Dari sekedar iseng-iseng sampai akhirnya
menjadi perokok ‘serius’.
Di lingkungan kampus saya,
merokok bukan hal yang aneh atau tabu, bahkan untuk perempuan sekalipun. Jadi
tindakan iseng-iseng saya perlahan menjadi kebiasaan yang susah dihilangkan
setelahnya. Walau namanya kebiasaan buruk tapi kalau lingkungan kita permisif
jadinya tak seperti melakukan sebuah kebiasaan buruk.
Dalam lingkunga keluarga selain ayah, abang
saya pun sudah menjadi perokok pada saat itu. Tentunya saya tak berani merokok
terang-terangan di depan kedua orang tua saya, walau saya yakin 200% bahwa
mereka mengetahui kalau saya ini seorang perokok. Dan walau mereka tahu saya
perokok, ayah dan ibu tak pernah menegur saya. Mungkin serba salah juga mau
menasehati saya sedangkan ayah saya sendiri perokok berat. Sampai menikahpun,
suami saya tampaknya tak keberatan saya tetap merokok, sebab ia juga seorang
perokok seperti saya.
Berada di lingkungan perokok
membuat keinginan untuk berhenti merokok cepat menguap. Saya ingat pernah 2
kali mencoba berhenti merokok dan gagal. Yang pertama hanya bertahan 2 minggu
saja. Saat berkumpul bersama teman-teman yang perokok tak tahan melihat mereka
merokok dengan asyik dan akhirnya saya kembali merokok. Yang kedua, kira-kira
sepuluh tahun setelah itu. Saat itu saya ikut suami yang bekerja di Singapura.
Kali ini bukan karena saya ingin berhenti merokok, tapi karena harga sebungkus
rokok di sana sangat mahal hehehe… Bayangkan, waktu itu harga sebungkus rokok
di Indonesia sekitar 10 ribu rupiah, sedang di sana harganya SGD 11. Kurs waktu
itu 1 SGD = Rp. 5,500. Jadi harganya 5 kali lipat lebih mahal! Tapi, saat balik
ke Indonesia lagi, kami berdua kembali menjadi perokok, sebab harga rokok murah
hehehe…dasar memang nggak niat berhenti merokok.
Bagi saya, merokok sudah seperti
makan saja. Sebuah keharusan, sebab kalau tak makan tubuh akan memberontak,
menagih. Bahkan terkadang merokok lebih penting daripada makan. Saya rela
menahan lapar asal ada rokok yang terselip di bibir. Kalau hanya punya uang
untuk beli makan saja atau beli rokok saja, tentunya saya lebih memilih untuk
membeli rokok saja ketimbang beli makanan.
Merokok seperti sebuah ritual
yang wajib dilakukan setiap harinya. Bangun tidur di pagi hari yang pertama
kali saya lakukan setelah minum air putih adalah merokok. Karena merokok saya
sering kali skip sarapan. Browsing dan mengerjakan sesuatu di depan komputer paling
enak sambil merokok. Habis makan siang kalau tak merokok rasanya tak lengkap.
Sambil nonton TV paling enak sambil merokok. Ketemu teman paling enak ngobrol
sambil merokok. Ngobrol santai dengan suami di teras samping paling seru kalau
sambil merokok berdua. Pokoknya sehari-hari, di setiap rutinitas, rokok tak
lepas dari bibir saya. Saya ini benar-benar kecanduan rokok. Sampai-sampai,
emosi saya kadang suka tak terkontrol apabila dalam kondisi tertekan atau
banyak pikiran apabila tak ada rokok terselip di bibir. Rokok membuat saya kalem,
tenang. Gila! Segila itu tapi saya tak berniat
sedikitpun berhenti, padahal saya tahu rokok terkadang mengontrol mood saya.
Saya benar-benar addicted to ciggy.
Februari dua tahun lalu suami
saya terkena flu berat. Saya hanya berfikir bahwa ia kurang istirahat dan cuaca
yang tak bersahabat karena sedang musim hujan. Flunya mereda setelah semingguan
dan menyisakan batuk yang tak kunjung sembuh walaupun sudah ke dokter. Karena
batuk itulah ia memutuskan untuk berhenti merokok. Saya yang waktu itu
sehat-sehat saja tetap merokok. Walau tak di depan suami, sebab asap rokok bisa
memicu batuknya. Setiap habis ngedrop suami ke tempat kerjanya dia berpesan
supaya saya berhenti merokok. Tapi saya tetap bandel dan tetap membeli
sebungkus rokok sebelum pulang ke rumah. Tapi lama-lama suami rupanya marah
juga melihat saya tetap bandel merokok padahal sudah dilarangnya. Dia bilang,
ini saatnya bagi kami untuk berhenti merokok dan hidup lebih sehat. Saya
akhirnya menurut walau dengan setengah hati.
Hari-hari pertama berhenti
merokok merupakan siksaan luar biasa bagi tubuh saya. Tubuh menagih nikotin tapi
tak terpuaskan. Saya jadi mudah gelisah. Emosi cepat naik. Tidur malampun tak
nyenyak. Saya bermimpi merokok sampai 3 bulan pertama sejak berhenti. Saya jadi
banyak makan dan tubuh jadi melar. Tapi sudahlah, kali ini setelah lewat bulan
ke 3 tubuh saya mulai tak terlalu menagih nikotin, tapi bukan berarti tak
ngiler melihat teman-teman kami merokok di depan kami. Berat!
Suami saya sungguh pintar
mengimi-imingi reward apabila kami berdua berhenti merokok. Dia bilang uang
yang biasanya kami habiskan untuk membeli rokok tiap bulannya lebih baik kami
tabung untuk liburan. Otak saya langsung menghitung cepat. Sebulan kami
mengabiskan tak kurang dari 600rb rupiah untuk membeli rokok. Berarti setahun
ke depan kami bisa menabung 7 juta lebih untuk berlibur. Wah seru nih. Bisa untuk
liburan seminggu ke Lombok atau 3-4 hari ke Thailand. Jadi, saya mulai
memfokuskan diri untuk menabung uang rokok kami itu daripada memikirkan tubuh
saya yang haus nikotin. Dengan begitu saya lebih mudah melewati hari demi hari
tanpa rokok lagi.
Tahun ini tak terasa sudah 2
tahun kami berdua berhenti merokok. Sudah tak tersisa lagi keinginan untuk
merokok. Bahkan kalau ada yang merokok di sebelah, kami memilih untuk menutup
hidung dan menyingkir. Kami mulai memahami kenapa dulu para non-smoker sebal
melihat kami menghembuskan asap racun itu. Sekarang kami juga merasakannya!
Saya masih berharap ayah saya,
abang saya, ipar-ipar saya, teman-teman saya ataupun kerabat saya lainnya untuk
berhenti merokok seperti kami. Semoga! Selain demi kesehatan mereka juga demi
anak-anak dan orang-orang di sekitar mereka. Terlebih anak-anak mereka, sebab
anak lebih melihat perbuatan daripada sekedar perkataan. Saya tak ingin
keponakan kami nantinya setelah beranjak remaja ikut-ikutan merokok seperti
kami dulu. Dan baru sekarang saya merasa menyesal pernah menjadi contoh yang
buruk bagi mereka.
|
What happen after quiting.. |
Please make sure, once you quit
smoking, you quit for good.