Thursday, May 9, 2013

'Perpisahan'


Sudah 12 hari ini, saya dan suami ‘berpisah’ sementara. Sejak tanggal 28 April lalu suami saya berada di Jakarta. Ia sedang mengikuti karantina untuk kompetisi memasak yang diadakan sebuah stasiun TV nasional. Kalau dia melaju hingga ke final, maka ia akan berada di Jakarta selama 3 bulan, hingga akhir bulan Juli nanti. Lamaaaa…hiks.

My darling & Me


Bukan kali pertama sebenarnya kami ‘berpisah’ sementara seperti ini. ‘Berpisah’ selalu menjadi hal yang membuat hati saya mellow, walau saya tahu hanya sementara saja. Kemarin saja waktu mengantarnya sampai pagar rumah dan melihat taksi yang membawanya ke bandara semakin menjauh, membuat saya sedih dan ingin menangis. Baru beberapa menit ia pergi, saya sudah sangat merindukannya.
Maklumlah, kami kan masih berdua saja. Tanpanya, rumah sangat sepi. Saya jadi kehilangan momen-momen kecil seperti mengobrol saat makan malam, mengobrol di tempat tidur sambil nonton TV atau makan kuaci biji matahari favorit kami, bercanda-canda sampai dada saya sesak karena tertawa berlebihan. Saya juga rindu memeluknya serta mencium aroma tubuhnya yang khas. Hiks…

Namun ‘perpisahan’ kali ini agak berbeda. Perasaan saya sebagai orang yang ‘ditinggalkan’ tak semellow biasanya. Satu hal karena, adik bungsu saya beserta suami dan dua anak lelaki mereka yang lucu dan bandel, berlibur ke sini dan menginap di rumah saya selama 7 malam. Mereka datang 3 hari setelah suami saya berangkat. Alhamdulillah, kedatangan mereka membuat saya tak kesepian. Apalagi karena ada 2 keponakan saya yang super aktif, membuat saya sibuk dan terhibur.

My darling nephews, Attar & Raffa..


Yang sebenarnya membuat saya tersadar adalah kejadian 2 hari sebelum suami saya berangkat. Di Jumat pagi sehabis shubuh, saat saya bersiap mengaji, suami yang sedang mengecek twitter miliknya tiba-tiba berkata , “Inna lillahi wa ina illaihi rojiun. Uje meninggal, darl..”
“inna lillahi wa ina illaihi rojiun” ucap saya spontan…Kaget, sungguh takdir yang tak bisa ditolak meski umur beliau masih terbilang muda, 40 tahun, begitu pikiran saya sebagai manusia biasa. Terbayang istri dan anak-anaknya yang masih kecil-kecil, sedih sekali.

Kenyataan itu membuat saya seperti tersadar. Tersadar bahwa apa yang saya kira selama ini milik saya, bukanlah milik saya. Hidup saya, suami saya, keluarga saya, harta saya..semua itu bukan milik saya. Semua itu hanya ‘milik saya’ sementara, hanya sebagai alat supaya saya mengenal Pencipta saya. Semua itu adalah milik Pencipta saya.

Selama ini saya sudah tahu itu, tapi tak mau mengakuinya, sebab saya sungguh takut kehilangan itu semua. Seperti kematian, saya tahu itu pasti terjadi tetapi memikirkannya saja sudah membuat saya ketakutan dan sedih.
Sama seperti setiap kali kami ‘berpisah’. Ada rasa ketakutan dalam hati saya. Takut saya tak bisa bertemu lagi dengan suami, takut tak dapat melihatnya lagi. Sungguh lebay saya ini. Tapi itulah perasaan saya yang sejujurnya. Saya sangat takut kehilangan suami saya. Apa yang akan saya lakukan apabila saya kehilangannya, seperti kehilangan tujuan hidup saja rasanya.

Sehari setelah wafatnya Uje, istrinya yang tadinya tak bisa berhenti menangis sampai terkadang pingsan dan belum bisa menerima takdir ini, muncul di TV dengan wajah yang tabah, sudah mampu sedikit tersenyum dan sudah bisa menerima kenyataan bahwa suaminya tak akan kembali dan bersabar karenanya. Subhanallah…saya terharu sekaligus malu.
Betapa kecilnya hati saya. Saya hanya tak bertemu suami saya sementara, bukan kehilangan selamanya, tapi saya bersikap seperti saya kehilangan selamanya.

Saya harus segera sadar bahwa saya harus mencintai Tuhan saya lebih besar dari mencintai apa yang saya kira milik saya itu. Tak bersabar dan tak menerima takdir berarti saya tak percaya padaNya, tak percaya pada janjiNya. Bahwa di dunia ini hidup hanya sementara, sebentar saja, sedang kehidupan yang abadi adalah di surgaNya.
Saya tak boleh lagi terlalu kawatir kehilangan orang-orang yang saya cintai saat mereka tak berada di dekat saya. Sebab itu berarti saya tak percaya bahwa Allah menjaga mereka seperti Ia menjaga saya. Saya harus sadar bahwa Ia adalah sebaik-baik Penjaga.

Dengan belajar menyadari itu, saya mulai merasa tak terlalu parno lagi, tak terlalu sedih lagi, tak terlalu khawatir lagi. Surprisingly, saya jadi  merasa lebih ringan. Bukan berarti rasa sayang saya berkurang pada suami sebab saya menjadi seperti tak terlalu terpengaruh dengan ketidakberadaannya di sisi saya. Saya masih sangat merindukannya. Setiap hari sejak membuka mata hingga saat berangkat tidur lagi, kami terus berkomunikasi. Hampir tiap pagi saya membangunkannya untuk sholat shubuh sebab ia sering kali pulang dini hari, takut ia melewatkannya. Sehari-harinya minimal kami saling menelpon sebanyak dua kali, tergantung jadwalnya saja. Bila tak terlalu padat, bisa lebih dari itu. Kami juga berhubungan melalui whatsapp. Jadi, walau berjauhan, komunikasi kami sangat intens. Sebab bagaimanapun, suami adalah teman terbaik saya.  Dan kami terbiasa saling bercerita tentang apa saja kegiatan kami hari ini, tentang perasaan kami dan banyak hal lagi. Bersyukur dengan adanya alat komunikasi yang membuat jarak antara kami tak terlalu jauh terasa.

Saya tak tahu seberapa cepat bisa bertemu suami lagi, tergantung keberhasilannya di kompetisi itu. Namun kapanpun, saya selalu berharap yang terbaik baginya. Saya percaya, Allah sudah mengatur semuanya, yang terbaik bagi kami. Saya tahu ada hikmah di balik semua kejadian. Perpisahan sementara ini membuat saya belajar hal yang berharga. Saya berharap bisa terus memiliki hati yang terbuka untuk bisa menerima ilmu yang bermanfaat tidak saja bagi kehidupan saya di dunia tapi terlebih di akhirat nanti. Aamiin.

Siang tadi, saya sangat merindukan suami. Lalu kami saling berbicara melalui video call Skype. Di layar laptop saat sedang mengobrol, saya melihat suami saya tiba-tiba menunduk. Saya bertanya apa yang sedang ia lakukan. Menggambar, katanya. Lalu ia menunjukkan sebuah gambar pada saya, sebuah gambar mata. Ia menunduk lagi, menggambar lagi. Menunjukkan ke saya lagi di layar. Rupanya ia menambahkan gambar hati dibawah gambar mata, dan huruf U di bawahnya.
Saya tersenyum, lalu membalasnya, ‘I Love You, too…’
Aah darling, you really make my day…

Beautiful sunset


~Alhamdulillah~

Wednesday, April 17, 2013

Life oh Life



Apakah ini sebuah kesombongan, tatkala kita merasa bersalah atas ketidakberuntungan orang lain?
Atau saya ini orang yang kufur nikmat?
Naudzubillahi min dzalik.

Sedihnya hati saya, mendengar cerita seorang istri, seorang ibu, yang bekerja melebihi kemampuan keringkihan tubuhnya tapi masih tetap berharap bisa memperpanjang waktu menjadi lebih dari 24 jam sehari hanya supaya bisa memiliki lebih banyak waktu untuk bekerja lagi.
Sementara saya bisa saja menunda pekerjaan karena merasa punya lebih banyak waktu. Sungguh saya orang yang merugi.

Hancurnya hati saya, mendengar kesedihan seorang istri, seorang ibu, yang merasa sendiri menghadapi dunia yang sungguh material ini.
Ya benar, kami perempuan, memang materialistis. Sebab belum lagi habis bulan, kami sudah membuat perhitungan untuk bulan-bulan berikutnya. Percayalah, wanita menghitung berapa banyak yang dihabiskannya untuk membeli bahan makanan untuk keluarganya hari ini. Seberapa sering laki-laki bertanya berapa banyak uang yang dihabiskan saat melihat makanan terhidang untuknya di meja makan? Saya yakin mereka lebih sering bertanya, kenapa tidak ada makanan yang terhidang hari ini?

Saya menangis diam-diam, mendengarnya bercerita rela bekerja di tempat yang saya pun tak menyangkanya. Bukan, bukan pekerjaan yang tidak halal. Tapi berbanding terbalik dengan pekerjaan utamanya. Don’t get me wrong, saya tak mengecilkan apapun pekerjaannya. Saya justru mengagumi kegigihannya. Toh hidup ini tak bisa makan gengsi. Demi keluarganya, bukan demi siapa-siapa.

Masygul rasanya melihat sang kepala rumah tangga tak cukup keras berusaha sepertinya. Apalagi hanya mampu berkata, “Aku tak memintamu untuk bekerja seperti itu”. Padahal perempuan itu mau hanya supaya ia bisa mencukupi keluarganya dan supaya sang lelaki bisa lebih berusaha.  “Lihat aku, tak malu bekerja kasar demi kita. Apapun kulakukan demi kita, asal halal. Kerjakanlah bagianmu. Sebab mestinya, paling tidak, kaupun harus berusaha sekeras aku.”

Berdoa saja tak cukup, Tuhanmu juga memintamu pergi ke luar untuk berusaha. Pekerjaan bisa kau temukan di luar sana, bukan cuma dengan menelusuri layar komputermu. Sadar tidak, keadaan sudah genting? Ya, genting! Dan kau masih saja duduk menunggu sambil merasa bahwa kau telah cukup berusaha? Kalau merasa sudah cukup berusaha, tunjukkan mana hasilnya!
Sadar tidak, your family is falling apart!

Jangan bilang kami perempuan tak pandai bersyukur. Justru karena kami bersyukur kami jadi berusaha lebih keras. Tak apa kami lelah, asal orang-orang yang kami sayangi bisa hidup lebih baik.
Kebahagiaan seorang perempuan adalah ketika menyaksikan orang-orang yang dikasihinya bahagia tanpa diselipi kecemasan akan masa datang.

Verily, after hardship comes ease. La Tahzan!

~What I see from where I stand~
(Astaghfirullah)

Saturday, April 13, 2013

The Good Fridays



Saya percaya, Jum’at adalah hari yang paling baik di antara hari-hari lain. Tapi bukan berarti hari-hari yang lain tak baik ya, in my belief there is no such thing. Semua hari adalah baik, tapi yang terbaik adalah hari Jum’at, hari di mana nabi Adam AS diciptakan Allah.

My dear hubby at work

Alhamdulillah, saya dan suami 2 bulan ini mengalami hal-hal yang baik di hari Jum’at. Jum’at awal Maret lalu, suami saya mendapat telpon dari seseorang yang bekerja di stasiun televisi yang menyelenggarakan kompetisi memasak bagi chef professional di seluruh negeri bahwa ia terpilih menjadi salah satu kandidat yang akan diaudisi untuk kompetisi itu. Jum’at dua minggu berikutnya, pihak televisi tsb dan seorang penilai mendatangi restoran tempat suami saya bekerja untuk mengaudisi suami saya. Tantangannya adalah memasak 2 jenis makanan dalam waktu 20 menit dan direkam oleh seorang juru kamera. Setelah itu, mereka mewawancarai suami saya dengan berbagai macam pertanyaan tentang dirinya, etos kerjanya, dll. Saya senang mendengar bahwa suami saya merasa bisa melakukannya dengan baik, tidak nervous. Dan yang terpenting adalah ia telah berusaha sebaik yang ia mampu dan merelakan hasilnya pada Allah. Setelah itu ia hanya tinggal menunggu pemberitahuan apakah ia akan lolos menjadi salah satu peserta yang akan berlaga di Jakarta.

In between those Fridays, di Jum’at yang lain ada lagi berita baik lainnya. Seorang sahabat saya, Lili,  tiba-tiba mengajak saya dan beberapa sahabat kami yang lain untuk pergi umroh ke tanah suci awal tahun depan dengan biaya murah. Walau bersemangat untuk ikut, tapi saya memahami kemampuan financial kami yang tak memungkinkan untuk mengumpulkan puluhan juta dalam waktu singkat untuk biayanya. Berita baiknya, Lili bersedia menanggung biaya kami dimuka supaya kami bisa berangkat umroh bersama. Jadi ya, Lili menawarkan soft loan bagi kami untuk mencicil biaya umroh padanya sampai pada saat sebelum kami berangkat umroh nantinya. Alhamdulillah…all praise belong to Allah.
Namun, ditengah diskusi masalah umroh ini, ada sedikit keraguan sebab kami hanya perlu membayar 12.5 juta saja untuk umroh di bulan Februari tahun depan. Murah sekali bukan?  Justru karena murah itu, kami menjadi sedikit ragu. Takutnya travel umroh yang akan mengakomodir keberangkatan kami ke Mekah nanti akan menipu kami. Hati kecil kami bertanya, ‘Benar nggak sih bisa umroh dengan biaya semurah itu?’ Namun Lili berkata bahwa bahwa uang yang nanti kami bayarkan itu akan diputar dulu makanya harganya bisa murah. Apalagi kami membayarnya hampir setahun sebelum keberangkatan kami.
Lalu Lili juga bilang, kalau adiknya akan berangkat umroh dengan travel umroh yang sama bersama 10 orang lainnya 3 minggu lagi. Kami bertanya apa tidak lebih aman kalau kami mendaftar setelah adiknya berangkat saja. Namun untuk bisa pergi di bulan Februari tahun depan dengan harga 12.5 juta itu, kami harus membayar paling lambat tanggal 30 Maret. Kalau kami mendaftar dan membayar bulan April maka harganya akan menjadi 13.5 juta rupiah dan akan berangkat bulan April. Sahabat saya itu bilang kalau Februari lebih enak sebab suhu di sana tak terlalu panas, bulan April akan lebih panas. Lili membiarkan kami berpikir selama beberapa hari sebelum memutuskan. Saya dan suami juga seorang sahabat lain, Duri, akhirnya membulatkan tekad lillahi ta’ala untuk mendaftar akhir Maret lalu. Sedang Metta & Masri sahabat saya yang lain tak bisa ikut kaerna alasan pekerjaan. Jadilah kami berempat yang mendaftar, Lili, saya, suami saya dan Duri.

Lalu di pagi Jum’at ini, saya menerima kiriman Lili berupa foto adiknya beserta rombongan yang sudah tiba di Madinah melalui akun fesbuk saya. Ia juga mengirimkan foto kamar untuk berempat dari hotel tempat mereka menginap. Alhamdulillah, semakin yakinlah kami. Saya lalu mengabarkannya pada suami saya yang sedang berada di kamar mandi pagi itu. Hanya Alhamdulillah berkali-kali yang kami ucapkan. Senangnya hati kami. Sebab pergi beribadah ke tanah suci adalah impian kami. Saya pribadi begitu merindukan untuk bisa melihat Ka’bah sampai sering sekali menangis apabila melihat gambar Ka’bah. Kerinduan itu luar biasa. Alhamdulillah, sudah mulai terlihat jalan kami menuju tanah suci, insyaAllah.

Rindu kami padamu luar biasa :)

Selesai sholat Jum’at, suami saya langsung berangkat kerja karena sudah ditunggu atasannya untuk meeting tanpa sempat makan siang. Saya kemudian kembali sibuk beberes rumah sambil mencuci baju. Menjelang Ashar, saya segera mandi. Dari dalam kamar mandi saya mendengar dering telpon. Dari nada deringnya saya tahu bahwa itu telpon dari suami saya. Tapi karena sedang mandi, saya membiarkannya berdering sampai berhenti sendiri. Saya pikir nantilah setelah mandi saya telpon balik saja.
Selesai mandi saya langsung meraih tab saya untuk menghubungi suami. Tapi haduh..kok nggak masuk-masuk ya?..tak terdengar nada sambung. Saya lalu mengirim pesan melalui whatsapp. Suami saya ternyata juga tak bisa menghubungi saya. Ia berkata melalui whatsapp kalau baru saja dihubungi oleh wakil dari stasiun televisi penyelenggara kompetisi memasak yang diikutinya bahwa suami saya termasuk dari 30 peserta kompetisi dan akan diberangkatkan ke Jakarta akhir bulan April ini. Alhamdulillah…saya mengucap syukur banyak sekali hari ini.
Lalu ia bilang akan ada shooting awal di restoran tempatnya bekerja akhir minggu depan. Tapi selain ia, pihak stasiun televisi itu juga meminta saya ikut shooting. Waaks….kok saya harus ikut juga sih? Belum apa-apa saya sudah grogi. Suami saya Cuma bilang, ‘Kamu kan bawel, pasti lancar ngomong di depan kamera nanti’ Hahaha…..
Ya sudahlah, mau gimana lagi. Saya kan harus mendukung suami, walau deg-degan, saya bismillah sajalah.

Yang lebih membahagiakan dari semua itu adalah, suami saya mendapat banyak doa dari kelluarga dan teman-teman dekat kami. Tentunya berita membahagiakan itu kami bagikan kepada keluarga dekat sekalian meminta doa restu kepada orang tua dan keluarga dekat lainnya supaya usaha suami dimudahkan Allah nantinya.
Tak mau bermuluk-muluk, kami berdua menyerahkan sepenuhnya urusan kami hanya pada Allah SWT. Sebab kami tahu Allah SWT pasti akan memberikan yang terbaik bagi kami. Saya hanya berpesan pada suami, bahwa semua karunia dan berkah ini adalah karena Allah semata. Bukan karena keahliannya atau kepintarannya. Saya memintanya untuk tetap rendah hati, berusaha semaksimal yang ia bisa lalu memasrahkanya pada Allah, Sang Pemilik Semesta ini. La haula wala quwwata illa billah.


RABBI ANZILNI MUNZALAM MUBARAKAW WA ANTA KHAIRUL MUNZILIIN
‘Ya Tuhanku, tempatkanlah aku pada tempat yang diberkahi dan Engkau adalah sebaik-baik pemberi tempat’ 

~QS Al Mu’minun : 29~

Aamiin Ya Rabb.

Jumuah Mubarokah.

Thursday, March 28, 2013

Hari Ubi Nasional

Jangan salah baca ya, bukan Ibu tapi Ubi...hehehe

Ceritanya beberapa hari lalu suami saya ingin dibuatkan jajanan dari singkong. Jadi malam-malam pergilah kami ke supermarket untuk beli singkong kupas. Tak tanggung-tanggung, kami beli 2 bungkus singkong kupas yang beratnya mungkin hampir dua kiloan. Saya kemudian janji padanya untuk membuatkan dua macam jajanan kesukaannya itu besok. 

Tapi keesokan harinya saya sibuk menemaninya ke sana ke mari. Jam 11 siangan kami ke kantor Pajak untuk menyerahkan SPT tahunan, seperti biasanya rame dan antri. Tapi suami saya rupanya tak terlalu lama harus mengantri di sana. Saat penyerahan SPT pada petugaspun hanya sebentar sebab hanya perlu mengisi sedikit perubahan data saja. Setelah itu kami makan siang di dekat situ, sup ikan khas Bali dan ikan goreng, enak dan segar disantap di siang sepanas itu. Karena sudah waktu sholat Dhuhur, kami segera mencari masjid yang letaknya tak jauh dari sana. Lalu kami beranjak pergi menuju sebuah toko bahan kue dan peralatan membuat kue di pusat kota Denpasar yang lumayan macet di Senin yang terik itu. Suami saya membeli satu set nozzle untuk menghias kue di tempat kerjanya dan saya membeli dua buah loyang kecil untuk membuat cake. Selepas dari sana, kami segera menuju Tuban, ke tukang jahit langganan tempat kerja suami untuk memesan beberapa buah chef jacket warna hitam untuknya.
Kelar urusan memilih bahan dan mengukur, kami berencana untuk segera pulang. Rupanya suami yang mengambil jatah liburnya hari ini mendapat telpon dari kantornya. Ada urusan mendesak yang mengharuskannya datang ke kantor. Akhirnya kami tak jadi pulang dan segera menuju ke kantornya. Baru setelah selesai urusan di kantornya kami pulang ke rumah. 

Kami sampai di rumah sekitar jam 5 sore. Kepanasan dan lumayan capek. Malamnya kami makan di luar. Setelahnya kami bersantai di tempat tidur sambil nonton TV. Suami saya lalu meminta saya untuk menggorengkan singkong untuknya. Saya pribadi lebih suka merebusnya dulu dengan bumbu bawang putih dan garam yang diulek halus. Lebih empuk dan gurih saaat digoreng. Suami saya sih maunya langsung aja digoreng, kelamaan katanya. Tapi saya kekeuh merebusnya dulu hehehe...Alhasil malam itu kami tak jadi makan singkong goreng, tapi singkong rebus berbumbu..;)

Keesokan harinya, pagi-pagi kami sarapan singkong goreng yang empuk gurih ditemani teh tubruk. Sedaaap! Sore harinya setelah selesai menyiapkan bahan-bahan untuk makan malam, saya mulai mengolah sisa singkong kupas untuk membuat jajanan pesanan suami.

Yang pertama saya buat adalah Sawut. Gampang banget bikinnya. Tinggal parut singkong dengan mandoline menjadi parutan yang agak besar-besar. Saya agak malas mengeluarkan mandoline dari dalam kontainer peralatan-peralatan masak saya, jadinya saya menggunakan peeler. Hasilnya panjang-panjang dan pipih. Setelah itu tinggal menambahkan serutan gula merah sesuai selera, aduk rata, kemudian tinggal dikukus saja. Disajikan dengan kelapa parut. Oia, kelapa parutnya jangan lupa dikukus juga setelah dibumbui garam supaya lebih awet.

Sawut


Setelah selesai mengolah sawut, saya kemudian mulai memarut singkong untuk membuat Sentiling. Hanya saja pekerjaan saya agak tertunda sebab saya lupa membeli santan dan pisang sebagai pelengkap bahan-bahan. Warung tetangga juga tutup, sebab tetangga saya yang mayoritas beragama Hindu sedang sibuk-sibuknya mempersiapkan diri menyambut hari raya Galungan. Alhasil saya meminta suami untuk membelikannya sepulang ia kerja nanti. Untungnya, penjual pisang masih buka jadilah saya membuat Sentiling Isi Pisang.

Sentiling Isi Pisang

Sentiling Isi Pisang

Bahannya :

5 buah Pisang Kepok, Kukus, dinginkan
500 gr Singkong, parut halus
100 gr Gula Pasir
100 gr Santan Kental (Saya pakai Santan Kara), campur dengan 50 ml air
1/4 sdt Garam
Pewarna Makanan Hijau & Merah

Caranya :

Campur parutan singkong dengan gula, garam, santan serta air, aduk rata. Bagi adonan menjadi dua. Masing-masing beri pewarna merah dan hijau.
Olesi loyang dengan sedikit minyak goreng. Tuang adonan hijau di dasar loyang, ratakan. Letakkan pisang kukus yang telah dibagi dua memanjang di atasnya sehingga menutupi permukaan adonan hijau. Tuang adonan merah di atas pisang kukus, ratakan.
Kukus di dandang yang sudah dipanaskan terlebih dahulu selama kurang lebih 25 menit. Setelah matang, dinginkan. Sajikan dengan parutan kelapa.

Alhamdulillah, suami saya suka. Dia memang benar-benar anak singkong hahaha...

Selamat Hari Ubi Nasional, Anak Singkongku...xx

Sunday, March 10, 2013

Beta Rindu Pulang, Sio Mama..

SangatInginPulang. SangatInginNangis. SangatInginMama!


I wanna go home...

Tuesday, February 26, 2013

S.e.l.i.n.g.k.u.h



Love,
It doesn't need to be perfect,
It just needs to be true.

~ Unknown ~
Apapun alasannya, saya  sangat membenci tindakan orang yang berselingkuh dari pasangan(sah)nya. Apapun masalah yang sedang dihadapi, pasti ada jalan keluarnya. Entah itu merekatkan kembali atau malah bercerai. Kalau yang terjadi yang pertama, Alhamdulillah. Tapi kalau harus bercerai, meski tindakan itu dibenci Allah, tapi itu lebih baik daripada berselingkuh. Berselingkuh itu bukan hanya mengkhianati janji terhadap pasangan hidup, tapi juga mengkhianati janji yang kita buat dengan nama Allah. Hanya orang yang tak kuat iman saja yang berkhianat. Apalagi berkhianat terhadap Tuhannya.

***


Saya mengenal seorang perempuan, yang juga seorang istri dan seorang ibu yang berkhianat terhadap suaminya, anak-anaknya, keluarganya. Di saat sang suami sedang berada di level terendah dalam hidupnya, bukannya menjadi penyemangat hidupnya, malah menjadi masalah baru yang membuat suaminya jatuh makin dalam. Seorang istri yang mestinya jadi penyejuk hati suami, teladan bagi anak-anaknya, memilih untuk mengkhianati mereka.

Saya kesal, marah dan terluka. Kenapa begitu mudah merendahkan diri sendiri? Menyerahkan kehormatan dan harta bukan kepada yang berhak. Aarrrgh….saya benci!!
Lalu saat ketahuan, menangis menyembah-nyembah untuk dimaafkan. Merasa pantas ya untuk dimaafkan? Merasa pantas ya mendapatkan kepercayaan setelah membuangnya tanpa berpikir panjang?
Saya marah sampai tak sudi melihat mukanya, tak sudi bermuka manis terhadapnya, tak sudi sekedar berbagi ruangan dengannya. Saya marah mengetahui ada seorang perempuan yang saya kenal mampu berbuat sekeji itu, serendah itu. Astaghfirullah.
Lalu untuk menutupi kesalahan, berusaha menjadi orang lain yang bukan dirinya. Bermanis manja di depan suami yang dikhianatinya demi mengalihkan permasalahan. Memuakkan!
Itu bukan penyesalan, itu kedok!

(Saya bukan makhluk suci, saya benci manusia hipokrit!)

Namun dunia ini memang benar berputar, tak disangka suatu waktu saat berada di puncak karirnya, gantian sang suami yang berbuat sama terhadap sang istri. Aaargh…sama saja!

A cheater belongs to a cheater!

Lalu sama-sama bereaksi berlebihan. Bukannya sama-sama pernah menjadi pelaku dan korban selingkuh? Jadi stop being so lebay about it.
Sang perempuan berlagak seperti korban. Nggak ingat ya dulu pernah berbuat hal hina yang sama? Sang lelaki merasa terintimidasi karena dipojokkan terus menerus. Siapa suruh membuat kesalahan yang sama? Kalian pikir saling membalas membuat kalian puas? Merasa menang?
Tambah muak, tambah marah, tambah kesal plus sebal.
Cukuplah…cukup sudah!

Muak! Muak! Muak!

Sungguh benar orang bilang : “Kesetiaan seorang istri diuji saat sang suami berada di titik terendah hidupnya. Sedangkan kesetiaan seorang suami diuji saat ia sedang berada di titik teratas hidupnya”

Dan yaa…kalian berdua G.A.G.A.L!!

“Berfikir sebelum berbuat adalah satu kebijaksanaan, berfikir setelah berbuat adalah satu kebodohan, sementara berbuat tanpa berfikir adalah seribu kebodohan”

Nikmati saja akibatnya!

~Naudzubillahi min dzalik~

(CatatanEmosiJiwa)

Monday, February 25, 2013

I Quit


Minggu lalu saat sedang mencuci piring di dapur, sayup-sayup terdengar suara seorang pembaca berita siang di TV dari dalam kamar. Sambil terus mencuci piring, saya memasang telinga sebab beritanya menarik perhatian saya, “Indonesia, a Baby Smoker Country”. Miris mendengarnya. Ingat kan pernah beredar tayangan video tentang seorang anak berumur sekitar 3-4 tahun dari Jawa Timur yang sedang merokok dengan gaya canggih dan fasih? Video itu banyak diposting di media sosial kala itu. Nah beredarnya video itulah awal mula yang membuat negara kita terkenal dengan sebutan “ Baby Smoker Country”, satu-satunya di dunia! Yang membuat saya kaget, menurut nara sumber berita siang itu, jumlah perokok berusia balita cukup banyak, dengan usia perokok paling muda sekitar umur 2 tahun, OMG! Jumlah perokok di bawah umur 14 tahun juga cukup memprihatinkan. Tapi yang semakin meningkat jumlahnya adalah perokok berusia antara 15 sampai 18 tahun.
Lalu bagaimana bisa anak-anak yang berusia sangat kecil itu bisa jadi kecanduan merokok? Rupanya pengaruh lingkungan keluarga sangatlah berperan. Rata-rata orang tua mereka, baik ayah atau ibunya atau keduanya adalah perokok. Atau keluarga dekat lainnya. L

                                                               
Saya melihat ayah saya merokok sejak kecil, sejak usia SD. Di usia 10 tahunan, saya  dan abang saya yang usianya 3 tahun di atas saya pernah coba-coba merokok dari sisa rokok ayah, secara sembunyi-sembunyi tentunya. Walaupun saat itu tak bisa merasakan nikmatnya merokok, tapi memang benar kami tertarik mencoba karena sering melihat ayah kami merokok.

Saat saya beranjak remaja, saya menemukan lebih banyak lagi anggota keluarga yang perokok diantaranya adalah om dan tante saya. Belum lagi teman-teman abang saya. Mungkin gara-gara itu pula saya merasa ingin mencobanya. Tapi saya baru benar-benar jadi perokok sejak tahun pertama kuliah, tahun 92. Dari sekedar iseng-iseng sampai akhirnya menjadi perokok ‘serius’.
Di lingkungan kampus saya, merokok bukan hal yang aneh atau tabu, bahkan untuk perempuan sekalipun. Jadi tindakan iseng-iseng saya perlahan menjadi kebiasaan yang susah dihilangkan setelahnya. Walau namanya kebiasaan buruk tapi kalau lingkungan kita permisif jadinya tak seperti melakukan sebuah kebiasaan buruk.

Dalam lingkunga keluarga selain ayah, abang saya pun sudah menjadi perokok pada saat itu. Tentunya saya tak berani merokok terang-terangan di depan kedua orang tua saya, walau saya yakin 200% bahwa mereka mengetahui kalau saya ini seorang perokok. Dan walau mereka tahu saya perokok, ayah dan ibu tak pernah menegur saya. Mungkin serba salah juga mau menasehati saya sedangkan ayah saya sendiri perokok berat. Sampai menikahpun, suami saya tampaknya tak keberatan saya tetap merokok, sebab ia juga seorang perokok seperti saya.

Berada di lingkungan perokok membuat keinginan untuk berhenti merokok cepat menguap. Saya ingat pernah 2 kali mencoba berhenti merokok dan gagal. Yang pertama hanya bertahan 2 minggu saja. Saat berkumpul bersama teman-teman yang perokok tak tahan melihat mereka merokok dengan asyik dan akhirnya saya kembali merokok. Yang kedua, kira-kira sepuluh tahun setelah itu. Saat itu saya ikut suami yang bekerja di Singapura. Kali ini bukan karena saya ingin berhenti merokok, tapi karena harga sebungkus rokok di sana sangat mahal hehehe… Bayangkan, waktu itu harga sebungkus rokok di Indonesia sekitar 10 ribu rupiah, sedang di sana harganya SGD 11. Kurs waktu itu 1 SGD = Rp. 5,500. Jadi harganya 5 kali lipat lebih mahal! Tapi, saat balik ke Indonesia lagi, kami berdua kembali menjadi perokok, sebab harga rokok murah hehehe…dasar memang nggak niat berhenti merokok.

Bagi saya, merokok sudah seperti makan saja. Sebuah keharusan, sebab kalau tak makan tubuh akan memberontak, menagih. Bahkan terkadang merokok lebih penting daripada makan. Saya rela menahan lapar asal ada rokok yang terselip di bibir. Kalau hanya punya uang untuk beli makan saja atau beli rokok saja, tentunya saya lebih memilih untuk membeli rokok saja ketimbang beli makanan.

Merokok seperti sebuah ritual yang wajib dilakukan setiap harinya. Bangun tidur di pagi hari yang pertama kali saya lakukan setelah minum air putih adalah merokok. Karena merokok saya sering kali skip sarapan. Browsing dan mengerjakan sesuatu di depan komputer paling enak sambil merokok. Habis makan siang kalau tak merokok rasanya tak lengkap. Sambil nonton TV paling enak sambil merokok. Ketemu teman paling enak ngobrol sambil merokok. Ngobrol santai dengan suami di teras samping paling seru kalau sambil merokok berdua. Pokoknya sehari-hari, di setiap rutinitas, rokok tak lepas dari bibir saya. Saya ini benar-benar kecanduan rokok. Sampai-sampai, emosi saya kadang suka tak terkontrol apabila dalam kondisi tertekan atau banyak pikiran apabila tak ada rokok terselip di bibir. Rokok membuat saya kalem, tenang. Gila! Segila itu tapi saya tak berniat sedikitpun berhenti, padahal saya tahu rokok terkadang mengontrol mood saya. Saya benar-benar addicted to ciggy.

Februari dua tahun lalu suami saya terkena flu berat. Saya hanya berfikir bahwa ia kurang istirahat dan cuaca yang tak bersahabat karena sedang musim hujan. Flunya mereda setelah semingguan dan menyisakan batuk yang tak kunjung sembuh walaupun sudah ke dokter. Karena batuk itulah ia memutuskan untuk berhenti merokok. Saya yang waktu itu sehat-sehat saja tetap merokok. Walau tak di depan suami, sebab asap rokok bisa memicu batuknya. Setiap habis ngedrop suami ke tempat kerjanya dia berpesan supaya saya berhenti merokok. Tapi saya tetap bandel dan tetap membeli sebungkus rokok sebelum pulang ke rumah. Tapi lama-lama suami rupanya marah juga melihat saya tetap bandel merokok padahal sudah dilarangnya. Dia bilang, ini saatnya bagi kami untuk berhenti merokok dan hidup lebih sehat. Saya akhirnya menurut walau dengan setengah hati.

Hari-hari pertama berhenti merokok merupakan siksaan luar biasa bagi tubuh saya. Tubuh menagih nikotin tapi tak terpuaskan. Saya jadi mudah gelisah. Emosi cepat naik. Tidur malampun tak nyenyak. Saya bermimpi merokok sampai 3 bulan pertama sejak berhenti. Saya jadi banyak makan dan tubuh jadi melar. Tapi sudahlah, kali ini setelah lewat bulan ke 3 tubuh saya mulai tak terlalu menagih nikotin, tapi bukan berarti tak ngiler melihat teman-teman kami merokok di depan kami. Berat!

Suami saya sungguh pintar mengimi-imingi reward apabila kami berdua berhenti merokok. Dia bilang uang yang biasanya kami habiskan untuk membeli rokok tiap bulannya lebih baik kami tabung untuk liburan. Otak saya langsung menghitung cepat. Sebulan kami mengabiskan tak kurang dari 600rb rupiah untuk membeli rokok. Berarti setahun ke depan kami bisa menabung 7 juta lebih untuk berlibur. Wah seru nih. Bisa untuk liburan seminggu ke Lombok atau 3-4 hari ke Thailand. Jadi, saya mulai memfokuskan diri untuk menabung uang rokok kami itu daripada memikirkan tubuh saya yang haus nikotin. Dengan begitu saya lebih mudah melewati hari demi hari tanpa rokok lagi.

Tahun ini tak terasa sudah 2 tahun kami berdua berhenti merokok. Sudah tak tersisa lagi keinginan untuk merokok. Bahkan kalau ada yang merokok di sebelah, kami memilih untuk menutup hidung dan menyingkir. Kami mulai memahami kenapa dulu para non-smoker sebal melihat kami menghembuskan asap racun itu. Sekarang kami juga merasakannya!

Saya masih berharap ayah saya, abang saya, ipar-ipar saya, teman-teman saya ataupun kerabat saya lainnya untuk berhenti merokok seperti kami. Semoga! Selain demi kesehatan mereka juga demi anak-anak dan orang-orang di sekitar mereka. Terlebih anak-anak mereka, sebab anak lebih melihat perbuatan daripada sekedar perkataan. Saya tak ingin keponakan kami nantinya setelah beranjak remaja ikut-ikutan merokok seperti kami dulu. Dan baru sekarang saya merasa menyesal pernah menjadi contoh yang buruk bagi mereka.

What happen after quiting..

Please make sure, once you quit smoking, you quit for good.