Arisan bulan ini berlangsung di rumah seorang teman di kawasan Jimbaran, di kawasan di mana
pembangunan pemukiman sedang berkembang pesat. Seorang teman lain kemudian
bertanya, berapa ya harga rumah ini. Sang empunya rumah menjawab, rumah yang
dibeli 2 tahun lalu dengan luas tanah 130-an meter persegi dan luas bangunan
kurang lebih 200-an meter persegi itu berharga hampir 900 juta. Wow!
Tapi itu belum
seberapa, sebuah rumah di cluster yang sama dengan luas tanah kurang lebih 105
meter persegi dan luas bangunan kurang lebih 200 meter persegi sedang
ditawarkan dengan harga 1.2 M !! Harga yang fantastis bagi saya dan sebagian
besar masyarakat kita.
Ingatan saya langsung melayang ke seorang keluarga dekat kami. Memiliki pekerjaan di kawasan utama di Jakarta Barat membuat kakak kami beserta istri dan kedua anak mereka memilih untuk tinggal di kawasan dekat tempat kerja sang kepala keluarga. Menyewa sebuah rumah petak sederhana di perkampungan di sekitar sana pun tidaklah murah. Mereka harus membayar kurang lebih 1 juta untuk rumah petak itu di luar biaya air dan listrik setiap bulan. Namanya di perkampungan penduduk, kawasan sekitar belum tentu bersih atau baik bagi perkembangan anak-anak mereka. Tapi toh mereka tidak punya pilihan lain sebab itulah yang terjangkau bagi mereka.
Tak lama kemudian
mereka akhirnya mengontrak sebuah rumah. Harga sewa pertahunnya 11 juta. Bukan uang yang sedikit bagi
kehidupan yang kian hari bertambah mahal di Ibukota. Seberapa banyak orang yang
mampu membayar sebanyak itu untuk menyewa rumah yang nyaman bagi keluarga
mereka? Sebagian besar keluarga lain mungkin tak seberuntung itu..apalagi
bermimpi bisa membeli rumah berharga ratusan juta, sangat jauh..
Tujuh tahun lalu,
sebelum memiliki rumah sendiri, saya dan suami juga mengontrak rumah setelah
selama 4 tahun sebelumnya tinggal di kamar kos. Atas rekomendasi seorang teman
jadilah kami mengontrak rumah di kawasan perkampungan di kelilingi sawah nan
asri yang jaraknya kurang lebih 20 menit naik motor ke tempat kerja kami di Ubud. Bukannya di sana
tak ada rumah yang bisa di sewa, di desa wisata terkenal itu harga sewa rumah
tak tanggung-tanggung mahalnya, minimal belasan juta pertahun. Tak terjangkau
bagi kami.
Harga sewa rumah
kontrakan pertama kami itu lumayan terjangkau. Kalau tidak salah ingat Rp
2.750.000 pada tahun pertama. Setelah lewat masa setahun, kami memperpanjangnya
untuk 2 tahun berikutnya dengan kenaikan harga kurang lebih 500 ribu
pertahunnya. Lalu karena rumah tersebut hendak dipakai sang pemilik kami akhirnya
pindah ke rumah lain masih di kompleks perumahan yang sama. Harga sewanya pun
tak terlalu jauh berbeda dengan harga sewa rumah yang terakhir. Masih
terjangkau oleh kami dan kenaikannya pun kami anggap wajar karena rumah ini
lebih luas dari rumah sebelumnya.
Selama masa-masa
mengontrak itu belum terbayang bagi kami untuk bisa memiliki rumah sendiri. Apalagi
sejak saya berhenti bekerja, hanya suami yang berpenghasilan membuat kami harus
lebih bijak mengatur keuangan keluarga. Kami berdua bahkan tidak tahu “di mana”
nanti akhirnya kami akan membeli rumah dan kemudian menetap secara permanen. Sebab
kadang-kadang pekerjaan yang membuat kami berpindah-pindah kota. Pada periode
mengontrak itu saya sempat pindah kantor ke Yogyakarta dan suami sempat bekerja
di Singapura.
Tapi di tahun
terakhir kami mengontrak seorang teman keluarga kami tiba-tiba menghubungi dan
menawari kami rumah yang akan mereka bangun. Lewat proses yang tak terlalu
rumit, jadilah kami akhirnya memiliki rumah. Rejeki yang tak terduga. Kalau
bukan karena kebaikan Tuhan dan teman keluarga kami itu, mungkin masih lama
lagi kami memiliki rumah. Sebab harga tanah dan rumah kan tak akan pernah turun,
selalu meningkat dari tahun ke tahun.
Tanah di perumahan tempat kami tinggal ini pada saat dibeli masih berupa lahan pertanian. Pada tahun 2005 harganya 55 juta per are (1 are = 100 meter persegi). Pada 2008 harganya sudah mencapai dua kali lipat, tahun lalu menurut seorang tetangga, tanah yang sebagian masih kosong di sebelah kompleks perumahan kami ditawarkan dengan harga sudah dua kali lipat dari harga tahun 2008 itu. Just do the math. Begitu cepat harganya naik. Padahal perumahan kami tidak dekat jalan utama. Jalan aspal yang terdekat saja jaraknya kurang lebih 0.5 kilometer dr rumah kami. Perumahan kami ini bersebelahan dengan sebuah sangai kecil dan bentangan sawah yang luas. Harga kontrak rumah tipe 36m2 di area ini pun sudah mencapai belasan juta rupiah.
Tanah di perumahan tempat kami tinggal ini pada saat dibeli masih berupa lahan pertanian. Pada tahun 2005 harganya 55 juta per are (1 are = 100 meter persegi). Pada 2008 harganya sudah mencapai dua kali lipat, tahun lalu menurut seorang tetangga, tanah yang sebagian masih kosong di sebelah kompleks perumahan kami ditawarkan dengan harga sudah dua kali lipat dari harga tahun 2008 itu. Just do the math. Begitu cepat harganya naik. Padahal perumahan kami tidak dekat jalan utama. Jalan aspal yang terdekat saja jaraknya kurang lebih 0.5 kilometer dr rumah kami. Perumahan kami ini bersebelahan dengan sebuah sangai kecil dan bentangan sawah yang luas. Harga kontrak rumah tipe 36m2 di area ini pun sudah mencapai belasan juta rupiah.
Sesaaat saya
keluar memandangi rumah yang telah kami tinggali lebih dari 3 tahun ini, melihat
halaman belakang yang ditumbuhi rumput liar, menyusuri catnya yang terkelupas
di beberapa bagian, mengira-ngira berapa lama lagi rumput Jepang yang baru sebulan kami tanam akan menutupi halaman muka
dengan sempurna, memandangi pohon belimbing wuluh yang berlimpah buah. Inilah
rumah impian kami, rumah mungil berhalaman cukup luas ditumbuhi tanaman aneka
rupa, tenang tidak berisik dan dekat sawah. Walau harus meminjam pada orang tua
kami untuk menggenapi uang muka rumah mungil kami ini, walaupun bilangan tahun
untuk mencicilnya masih banyak, I am grateful to call this house a HOME.
Tak perduli besar
atau kecil, mewah atau sederhana, berhalaman paving atau bunga, berpemandangan
indah atau tembok tetangga, setiap individu memiliki hak untuk memiliki sebuah
rumah, a HOME not just a house. Akan ada jalan bagi masing-masing untuk
memilikinya, seperti kami. Aamiin.
Our HOME ~ waktu baru selesai dibangun pada 2008 |