Wednesday, October 31, 2012

A Place I Call Home


Arisan bulan ini berlangsung di rumah seorang teman di kawasan Jimbaran, di kawasan di mana pembangunan pemukiman sedang berkembang pesat. Seorang teman lain kemudian bertanya, berapa ya harga rumah ini. Sang empunya rumah menjawab, rumah yang dibeli 2 tahun lalu dengan luas tanah 130-an meter persegi dan luas bangunan kurang lebih 200-an meter persegi itu berharga hampir 900 juta. Wow!

Tapi itu belum seberapa, sebuah rumah di cluster yang sama dengan luas tanah kurang lebih 105 meter persegi dan luas bangunan kurang lebih 200 meter persegi sedang ditawarkan dengan harga 1.2 M !! Harga yang fantastis bagi saya dan sebagian besar masyarakat kita.

Ingatan saya langsung melayang ke seorang keluarga dekat kami. Memiliki pekerjaan di kawasan utama di Jakarta Barat membuat kakak kami beserta istri dan kedua anak mereka memilih untuk tinggal di kawasan dekat tempat kerja sang kepala keluarga. Menyewa sebuah rumah petak sederhana di perkampungan di sekitar sana pun tidaklah murah. Mereka harus membayar kurang lebih 1 juta untuk rumah petak itu di luar biaya air dan listrik setiap bulan. Namanya di perkampungan penduduk, kawasan sekitar belum tentu bersih atau baik bagi perkembangan anak-anak mereka. Tapi toh mereka tidak punya pilihan lain sebab itulah yang terjangkau bagi mereka.

Tak lama kemudian mereka akhirnya mengontrak sebuah rumah. Harga sewa pertahunnya  11 juta. Bukan uang yang sedikit bagi kehidupan yang kian hari bertambah mahal di Ibukota. Seberapa banyak orang yang mampu membayar sebanyak itu untuk menyewa rumah yang nyaman bagi keluarga mereka? Sebagian besar keluarga lain mungkin tak seberuntung itu..apalagi bermimpi bisa membeli rumah berharga ratusan juta, sangat jauh..

Tujuh tahun lalu, sebelum memiliki rumah sendiri, saya dan suami juga mengontrak rumah setelah selama 4 tahun sebelumnya tinggal di kamar kos. Atas rekomendasi seorang teman jadilah kami mengontrak rumah di kawasan perkampungan di kelilingi sawah nan asri yang jaraknya kurang lebih 20 menit naik motor ke  tempat kerja kami di Ubud. Bukannya di sana tak ada rumah yang bisa di sewa, di desa wisata terkenal itu harga sewa rumah tak tanggung-tanggung mahalnya, minimal belasan juta pertahun. Tak terjangkau bagi kami.

Harga sewa rumah kontrakan pertama kami itu lumayan terjangkau. Kalau tidak salah ingat Rp 2.750.000 pada tahun pertama. Setelah lewat masa setahun, kami memperpanjangnya untuk 2 tahun berikutnya dengan kenaikan harga kurang lebih 500 ribu pertahunnya. Lalu karena rumah tersebut hendak dipakai sang pemilik kami akhirnya pindah ke rumah lain masih di kompleks perumahan yang sama. Harga sewanya pun tak terlalu jauh berbeda dengan harga sewa rumah yang terakhir. Masih terjangkau oleh kami dan kenaikannya pun kami anggap wajar karena rumah ini lebih luas dari rumah sebelumnya.

Selama masa-masa mengontrak itu belum terbayang bagi kami untuk bisa memiliki rumah sendiri. Apalagi sejak saya berhenti bekerja, hanya suami yang berpenghasilan membuat kami harus lebih bijak mengatur keuangan keluarga. Kami berdua bahkan tidak tahu “di mana” nanti akhirnya kami akan membeli rumah dan kemudian menetap secara permanen. Sebab kadang-kadang pekerjaan yang membuat kami berpindah-pindah kota. Pada periode mengontrak itu saya sempat pindah kantor ke Yogyakarta dan suami sempat bekerja di Singapura.

Tapi di tahun terakhir kami mengontrak seorang teman keluarga kami tiba-tiba menghubungi dan menawari kami rumah yang akan mereka bangun. Lewat proses yang tak terlalu rumit, jadilah kami akhirnya memiliki rumah. Rejeki yang tak terduga. Kalau bukan karena kebaikan Tuhan dan teman keluarga kami itu, mungkin masih lama lagi kami memiliki rumah. Sebab harga tanah dan rumah kan tak akan pernah turun, selalu meningkat dari tahun ke tahun. 

Tanah di perumahan tempat kami tinggal ini pada saat dibeli masih berupa lahan pertanian. Pada tahun 2005 harganya 55 juta per are (1 are = 100 meter persegi). Pada 2008 harganya sudah mencapai dua kali lipat, tahun lalu menurut seorang tetangga, tanah yang sebagian masih kosong di sebelah kompleks perumahan kami ditawarkan dengan harga sudah dua kali lipat dari harga tahun 2008 itu. Just do the math. Begitu cepat harganya naik. Padahal perumahan kami tidak dekat jalan utama. Jalan aspal yang terdekat saja jaraknya kurang lebih 0.5 kilometer dr rumah kami. Perumahan kami ini bersebelahan dengan sebuah sangai kecil dan bentangan sawah yang luas. Harga kontrak rumah tipe 36m2 di area ini pun sudah mencapai belasan juta rupiah.

Sesaaat saya keluar memandangi rumah yang telah kami tinggali lebih dari 3 tahun ini, melihat halaman belakang yang ditumbuhi rumput liar, menyusuri catnya yang terkelupas di beberapa bagian, mengira-ngira berapa lama lagi rumput Jepang yang baru  sebulan kami tanam akan menutupi halaman muka dengan sempurna, memandangi pohon belimbing wuluh yang berlimpah buah. Inilah rumah impian kami, rumah mungil berhalaman cukup luas ditumbuhi tanaman aneka rupa, tenang tidak berisik dan dekat sawah. Walau harus meminjam pada orang tua kami untuk menggenapi uang muka rumah mungil kami ini, walaupun bilangan tahun untuk mencicilnya masih banyak, I am grateful to call this house a HOME.

Tak perduli besar atau kecil, mewah atau sederhana, berhalaman paving atau bunga, berpemandangan indah atau tembok tetangga, setiap individu memiliki hak untuk memiliki sebuah rumah, a HOME not just a house. Akan ada jalan bagi masing-masing untuk memilikinya, seperti kami. Aamiin. 


Our HOME ~ waktu baru selesai dibangun pada 2008

No comments:

Post a Comment