Minggu lalu, Mas Feby seorang
sepupu suami yang sedang berada di Bali menghubungi kami untuk menemani mbak Donna, istrinya jalan-jalan. Jadilah kami
janjian hari Selasa lalu untuk bertemu di tempat kerja suami di Kuta daripada
mbak Donna harus menjemput ke rumah kami yang berada di ujung utara Kuta
sedangkan mereka menginap di Nusadua di ujung selatan Kuta. Kami sepakat untuk
bertemu jam 9 pagi itu. Alhamdulillah suami saya bisa mengambil libur jadi bisa
ikut menemani kami jalan-jalan.
Pagi itu setelah subuh kami berdua mencoba tidur lagi setelah menyetel alarm untuk bangun jam 6.30. Entah kenapa kami berdua malah tak bisa tidur. Padahal malam sebelumnya suami saya pulang kerja sekitar puku 11 malam lebih. Dan ia baru tertidur kira-kira jam 12.30 dini hari. Saya sendiri baru bisa tidur sejam kemudian. Karena tetap tidak bisa tidur sampai alarm berbunyi, saya bergegas bangun untuk berbenah rumah. Setengah jam kemudian suami saya bersiap mandi, saya menyusul setelahnya. Jam 8 kami telah siap berangkat ke Kuta. Pagi itu lalu lintas lancar dan tak terlalu padat. Tak sampai 30 menit kami sudah sampai di Kuta. Rupanya karena mampir untuk beli oleh-oleh di pusat oleh-oleh terkenal di Tuban, mbak Donna baru sampai pukul 10. Selama waktu menunggu karena tak melakukan kegiatan yang berarti kami mulai terserang rasa mengantuk. Jadilah kami memesan kopi untuk melawannya dan menikmatinya sambil duduk-dukuk di dek restoran yang menghadap Pantai Kuta. Walaupun mengantuk tapi tak mengurangi jiwa narsis tentunya hahaha…
Pantai Kuta di pagi hari |
Narsis berdua suami :D |
Setelah mbak Donna tiba, tanpa
buang waktu kami segera meluncur menuju Ubud. Tujuan pertama kami adaah
mencicipi kuliner lokal di Ubud. Sama seperti saya dan suami, mbak Donna
ternyata juga hobi makan. Karena belum pernah mencoba makanan lokal khas Ubud,
jadilah kami membawanya untuk mencicipi Nasi Ayam Kedewatan Ibu Mangku.
Terletak di desa Kedewatan, kira-kira 10 menit dari pusat keramaian Ubud. Anda
tak akan mungkin tersasar, sebab dari beberapa restoran penjual makanan
sejenis, tempat ini yang paling terkenal. Banyak mobil yang parkir di pinggir
jalan di depan restoran ini yang terkadang membuat lalu lintas tersendat.
Kami kemudian masuk ke dalam restoran, dan memilih untuk duduk lesehan di dalam daripada duduk di kursi dan meja yang tersedia di bagian depan restoran. Kami lalu memesan 3 porsi nasi ayam dan minuman. Saya meminta tambahan sayuran lawar disediakan di piring terpisah. Lawar adalah urap sayur khas Bali yang disajikan dengan parutan kelapa bakar. Ada banyak macam lawar tapi di restoran ini memakai kacang panjang sebagai bahan utama.
Nasi ayamnya sendiri terdiri dari
nasi putih dalam porsi lumayan besar, lawar kacang panjang, sambal khas Bali
yang digoreng, sate lilit, ayam sisit, kacang goreng dan gorengan kulit ayam
serta bawang goreng sebagai taburan.
Nasi Ayam Kedewatan Ibu Mangku |
Sehabis makan kami segera
meluncur ke arah pusat Ubud menuju salah satu museum lukisan yang terkenal di
Ubud yaitu Blanco Renaissance Museum. Saya sendiri sudah lama sekali tak
mengunjungi museum ini, mungkin sekitar 7 atau 8 tahunan. Dari area parkir mobil,
seorang petugas sekuriti mengucapkan salam lalu mempersilakan kami masuk ke sebuah pondok kecil kemudian mengarahkan kami ke piintu masuk yang terbuat dari kayu menuju loket untuk membeli karcis masuk. Karcis masuknya tak terlalu mahal, bagi wisataan domestik
30 ribu rupiah per orang, sedang bagi wisatawan asing 50 ribu rupiah.
Setelah membeli karcis, kami bertiga segera masuk. Petugas karcis memberi tahu
bahwa kami dipersilakan untuk menikmati welcome drink di restoran Ni Rondji.
Tapi kami memutuskan untuk menikmatinya setelah puas mengelilingi museum nanti.
Museum yang menyimpan lukisan pelukis Spanyol Don Antonio Blanco dan Mario Blanco sang anak, menempati lahan yang cukup luas dan hijau menghadap sungai Campuhan. (Oh iya, Yang perlu diingat apabila anda hendak berkunjung ke sini adalah lukisan sang maestro lebih banyak untuk konsumsi orang dewasa karena banyak menampilkan keindahan tubuh wanita, kurang cocok bagi anda yang berlibur membawa anak di bawah umur 17 tahun). Banyak dari lukisan sang maestro yang memakai sang istri, Ni Rondji sebagai obyek lukisannya, juga anak mereka. Lukisan potret diri sang maestro dan beberapa keluarga serta kerabat pun terpajang di sana. Lukisan-lukisan itu dibingkai dengan figura yang indah hasil rancangan sang maestro sendiri. Di bagian tersendiri dari museum juga terdapat hasil karya berupa kolase dan karya-karya yang lebih ‘dewasa’ lainnya. Di dekat pintu keluar terdapat pula foto-foto keluarga sang Don.
Blanco Renaisance Museum |
Narsis dengan mbak Donna di pintu masuk museum |
Di taman museum terdapat berbagai macam burung cantik berbulu indah. Karena cukup jinak, petugas biasanya menawarkan apabila anda ingin berfoto dengan burung-burung cantik itu.
Di bagian lain, ada toko souvenir
apabila anda ingin membeli oleh-oleh. Di sini ada sudut yang unik karena
menyimpan koleksi telepon, kamera, mesin hitung dan mesin ketik yang semuanya antik.
Dan kita bisa berfoto di situ. Satu lagi sudut yang menarik adalah kita bisa
berpose a la pelukis karena tersedia kanvas dengan dudukannya, palet serta
berbagai ukuran kuas untuk kita bergaya menjadi pelukis. Saya dan mbak Donna
bergantian bergaya pura-pura menjadi pelukis hahaha..Seru! Di dalam museum kita tidak
boleh mengambil foto. Hanya di bagian luar saja yang boleh. Tapi ada loh yang
nekad. Beberapa turis berbahasa Cina dengan santainya berfoto di bagian atas
museum padahal sudah jelas ada tanda larangannya. Tentu saja mereka lalu
ditegur keras oleh petugas keamanan.
Pose di depan kamera antik |
Akting melukis :D |
Setelah puas berkeliling, kami
segera menuju restoran Ni Rondji untuk menikmati suguhan welcome drink.
Terakhir saya ke sini, restoran ini belum ada. Sampai sana hanya ada satu meja
yang terisi, jadi kami leluasa untuk memilih meja. Karena matahari masih terik
bersinar, kami memilih untuk duduk di bagian restoran yang beratap. Padahal
sofa-sofa di dek lebih mengundang untuk diduduki. Pagar besi menghiasi pinggiran restoran dengan aksen kayu bersiluet lenggokan badan Ni Rondji saat menari. Memang Ni Rondji adalah seorang penari di istana Tampak Siring pada jaman pemerintahan Presiden Sukarno. Kepiawaiannya menari diwariskan pula kepada ketiga putrinya. Restoran yang cukup luas ini cantik berhiaskan banyak anggrek bulan. Dari petugas restoran kami tahu bahwa
Mario Blanco ternyata memiliki lahan pengembangbiakan anggrek di area ini tapi
kamitak sempat melihat-lihat ke sana. Oh iya, anggrek-anggrek cantik itu juga
bisa anda beli loh.
Tak lama, petugas restoran segera menghidangkan 3 gelas minuman dingin beraroma kopi karamel, wah segar! Cuma butuh semenit minuman dalam gelas pendek itu kami habiskan. Yang tadinya hanya berniat untuk melihat-lihat menu makanan saja akhirnya kami memesan juga menu makanan penutup. Mbak Donna memilih cake yang di dalamnya terdapat coklat meleleh yang disajikan dengan es krim vanilla dan potongan buah stoberi. Suami saya memilih hidangan penutup khas Perancis yang ternyata belum tersedia pada jam itu. Akhirnya karena suami saya tak jadi memesan apa-apa, saya yang akhirnya memesan jajanan khas lokal yangg terdiri dari beberapa jenis dalam satu porsi, ada bubur Injin, godoh alias pisang goreng serta sumping sejenis nagasari tapi berisi nangka. Mbak Donna rupanya tertarik untuk mencoba bubur Injin alias bubur ketan hitam dengan siraman santan di atasnya. Saya sendiri penggemar sejati pisang goreng hehehe…sayang, saking asyiknya ngobrol dan icip-icip, saya lupa mengambil foto menu yang kami pesan.
Salah satu sudut Restoran Ni Rondji |
Berdua mbak Donna berlatar perbukitan Ubud |
Tak terasa sudah jam 3 sore
lebih. Karena mbak Donna harus kembali ke hotel sebelum jam 5, kami segera
meluncur ke arah Kuta lagi. Kurang lebih sejam kami tiba di Kuta. Setelah
mengucap salam perpisahan dan berjanji akan ketemu lagi dikunjungan berikutnya,
Mbak Donna segera meluncur kembali ke Nusadua.
~Bersambung ke part 2~
~Bersambung ke part 2~
No comments:
Post a Comment